Selasa, 18 Oktober 2011



TUHAN ADALAH GEMBALAKU
Maz 23:1-6
Ev.Esra A Soru,STh
Dalam bagian I kita sudah membahas tentang penggembalaan Tuhan atas kita, pada bagian II kita sudah membahas tanggung jawab kita sebagai domba-domba-Nya. Dua hal yang sudah kita bahas adalah : (1) Domba yang baik harus mem-punyai hubungan pribadi dengan gembala-nya. (2) Domba yang baik harus puas dengan apa yang diberikan oleh gembala-nya. Namun demikian ada hal yang perlu saya tambahkan agar konsep “puas” ini tidak menjadikan kita menjadi orang-orang yang akhirnya tidak dapat mengembangkan diri,
pasif dan statis.
Satu hal yang harus dipikirkan adalah banyak orang tidak mengalami per-kembangan dan kemajuan dalam hidupnya,  kariernya, pekerjaannya, bahkan pelayannya karena mereka terlalu cepat merasa puas dengan apa yang sudah diraih dan mulai berhenti mengejar kemajuan demi ke-majuan. Saya misalnya. Kemampuan saya dalam bermain gitar pas-pasan saja padahal saya sudah bisa bermain gitar sejak duduk di kelas 2 SD. Dilihat dari segi waktu seharusnya saya sekarang sudah bisa menjadi pakar dalam urusan bermain gitar. Tapi mengapa kemampuan saya pas-pasan saja? Karena saya cepat merasa puas. Jadi letak ke-salahannya adalah terlalu cepat merasa puas dengan apa yang sudah dicapai.
Kalau begitu kita “rasa puas” itu se-benarnya adalah sesuatu yang positif atau negatif? Bukankah dalam bagian II justru kita diajar untuk menjadi puas dengan apa yang sudah Tuhan berikan kepada kita? Ini sama sekali tidak bertentangan! Intinya adalah kita harus tahu kapan harus menjadi puas dan bersyukur dan kapan tidak boleh puas dan menjadi statis. Jikalau apa yang kita inginkan itu hanya sekedar untuk memuaskan hawa nafsu dan egoisme manusia, maka kita harus belajar untuk menjadi puas dengan semua yang Tuhan sudah berikan kepada kita. Tetapi jikalau keinginan bahkan ambisi itu bermuara kepada kemuliaan Tuhan, maka kita tidak boleh cepat menjadi puas. Terlalu cepat puas mungkin saja menjadi dosa. Kedua hal ini dapat berjalan beriringan. Kalau anda diberi suara yang bagus untuk menyanyi, syukuri itu tapi jangan dulu puas jikalau kemampuan itu masih bisa di-tingkatkan lagi (tentunya untuk kemuliaan Tuhan). Jikalau sudah tidak bisa ditingkatkan lagi (mencapai klimaks) maka syukuri itu dan puaslah dengan itu. Demikian juga dalam hal pekerjaan/usaha, potensi diri, karunia rohani seperti berkhotbah, mengajar, dll. Di sini dibutuhkan hikmat untuk mengetahui kapan menjadi puas dan kapan jangan cepat puas. Semuanya harus dikendalikan oleh kehendak Tuhan dengan tujuan kemuliaan-Nya dan bukan kemuliaan diri sendiri yang bersifat egosentris dan pemuasan nafsu belaka. Intinya adalah jangan dulu puas kalau itu membawa kemuliaan bagi Tuhan. Dan puaslah kalau itu juga membawa kemuliaan bagi nama Tuhan.
Sekarang kita akan melanjutkan pem-bahasan kita tentang tanggung jawab kita sebagai domba. (Bagian I dan II sudah dibahas dalam bagian sebelumnya).




0 komentar:

Posting Komentar